2. Cenderung melakukan kejahatan.
3. Mempertontonkan kedunguannya kepada semua orang.
4. Penyelewengan para penguasa.
5. Binasa oleh kata-katanya sendiri.
6. Bicara seperti orang gila.
7. Banyak bicara.
8. Melelahkan diri sendiri.
9. Malas.
10. Mengecam raja, mengutuki orang kaya.
Kebodohan bukan sifat yang selalu melekat
pada diri manusia dalam tiap kondisinya. Tetapi ada bentuk kebodohan
yang melekat pada manusia sebagai akibat dari perbuatannya sendiri yaitu
kelalaiannya dalam upaya menghilangkan kebodohan tersebut dengan cara
belajar.
Oleh karena itu hukum kebodohan dalam
masalah agama berubah sesuai dengan perubahan hukum kebodohan yang dapat
dimaafkan karena sebab-sebab syariat pertama adalah karena sebab
kesulitan untuk melepaskan diri dari kebodohan tersebut. Kedua adalah
tidak adanya kelalaian mukallaf dalam tindakannya yang muncul dari
kebodohan yang dimaafkan tersebut. Jadi kebodohan tidak dapat dijadikan
alasan kecuali jika ada kesulitan dan kendala untuk menghindarinya jika
kesulitan dan kendala itu hilang dan ia dapat mengetahui hukum agama
tetapi ia lali maka kebodohannya tidak dapat dimaafkan.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
“Orang yang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan bukan
berdasarkan keyakinan dan bukan pula karena kebodohan yang dapat
dimaafkan tetapi karena kebodohan dan berpaling dari kewajibannya
mencari ilmu dengan kemampuan yang ada pada dirinya atau ia telah
mendengar diwajibkannya hal ini dan diharamkannya hal itu dan ia tidak
melaksanakannya karena ia berpaling dan bukan karena keingkarannya pada
kerasulan kedua bentuk penyimpangan ini banyak terjadi karena
meninggalkan kewajiban mencari ilmu yang diperintahkan kepadanya hingga
ia meninggalkan kewajiban dan melakukan larangan tanpa mengetahui bahwa
perbuatan itu telah diwajibkan dan yang lain diharamkan atau khithab
telah sampai kepadanya dan ia tidak berusaha mengikutinya karena fanatik
terhadap mazhabnya atau karena mengikuti hawa nafsunya maka tindakan
ini telah meninggalkan keyakinan yang diwajibkan tanpa alasan syar’i.”
Ibnu al-Luham mengatakan “Jika kami
mengatakan bahwa orang bodoh dapat dimaafkan maka yang kami maksudkan
dengan pernyataan ini adalah apabila ia tidak lalai dan tidak meremehkan
dalam mempelajari hukum. Sedangkan apabila ia lalai maka ia tidak
dimaafkan.” {Syadzarat adz-Dzahab juz 7 h. 31 dan Mu’jam al-Mu’allifin juz 2 h. 510.
Ibnu Qayyim Rahimahullah berbicara
tentang orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir yang bertaklid pada
pembesar dan pemimpin mereka dalam kekafiran ia mengatakan “Dalam
kondisi ini perlu ada penjelasan yang memadai yang dapat menghilangkan
praduga macam-macam yaitu perbedaan antara mukallid yang memungkinkan
baginya untuk mengetahui kebenaran dan ia berpaling darinya dengan
mukallid yang tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran itu.
Kedua bentuk taklid ini ada dalam realitanya maka seorang mukallid yang
memungkinkan baginya mengetahui kebenaran tetapi ia berpaling dan
melalaikannya maka ia tidak dimaafkan di hadapan Allah..”.
Bentuk kebodohan ini adalah kebodohan
yang terjadi akibat berpaling dari dan menghindari ilmu. Kebodohan
bentuk ini merupakan kebodohan yang dapat dihindari dan dihilangkan;
karena mukallaf yang tetap dalam kebodohan ini adalah pilihannya dan
keberadaannya yang tanpa ilmu merupakan kehendaknya.
Maka seseorang yang bodoh yang tidak mengetahui hukum agama karena ia
berpaling dari ilmu yang memungkinkan baginya untuk memperolehnya sama
dengan orang yang ingkar yang melihat kebenaran tetapi ia tidak
melaksanakannya.Berdasarkan analisis terhadap pendapat beberapa ulama dapat dilihat bahwa sebagian mereka berpendapat bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf tidak dapat dijadikan alasan baik karena kelalaian si mukallaf sendiri dalam mencari ilmu dan ia lebih memilih tetap dalam kebodohan tersebut maupun karena kebodohan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah yang hukumnya telah diketahui secara jelas dan umum di kalangan masyarakat.
Imam Suyuthi Rahimahullah berkata “Setiap orang yang tidak mengetahui mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas masyarakat ia tidak dimaafkan kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut.” .
Imam al-Muqarri Rahimahullah mengatakan “Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada para ulama untuk menjelaskan hukum-hukum . Maka tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinka baginya untuk mempelajarinya.” .
Imam Ibnu Rajab mengatakan “Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina telah diharamkan perkataannya tidak dapat diterima sebab kenyataannya ia telah mendustainya meskipun pada dasarnya ia tidak mengethui hal itu.” . Maksud dari perkataan Ibnu Rajab adalah bahwa hukum zina telah dikenal dan tersiar di negara Islam sehingga meskipun seseorang berbuat zina mengaku dirinya tidak mengetahui hukum zina maka ketidaktahuannya tidak dapat diterima karena kelalaiannya dalam upaya mengetahui hukum-hukum Islam yang merupakan ilmu agama yang sudah semestinya diketahui dan dikenal secara umum.
Demikian juga karena kebodohannya tersebut bukan sesuatu yang sulit dihindari sehingga tidak dapat dijadikan alasan bagi orang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang telah diharamkan yang merupakan hukum agama yang sudah seharusnya diketahui dan telah dikenal secara umum kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh dari perkembangan ilmu sehingga hukum-hukum seperti ini kurang jelas baginya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan ini adalah bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf dengan melihat tidak adanya kesulitan untuk melepaskan diri darinya menurut kebiasaan mengingat tidak adanya sebab-sebab kesulitan tersebut juga dengan melihat kemungkinan mukallaf untuk memperoleh ilmu.. maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan alasan dan karena itu pula mukallaf akan menerima segala akibat sesuai dengan perbuatannya.. Allahu a’lam.
Sumber Al-Jahl bi Masail al-I’tiqad wa Hukmuhu Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma’asy Al-Islam
Posting Komentar